Home » Uncategorized » Ketergantungan Indonesia Terhadap Hutang Luar Negeri

Ketergantungan Indonesia Terhadap Hutang Luar Negeri

Archives

Categories

Dr. Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysiya, dalam pidatonya di depan the Asia HRD Congress di Jakarta, 3 Mei 2006, Mengatakan: “Neokolonialisme bukanlah istilah khayalan yang diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia (neokolonialisme) itu nyata. Kita merasakanya tatkala kita hidup berada di bawah control agen-agen yang dikenadlaikan oleh mantan penjajah kita.” (Neo-colonialisme is not a fancy term carried by President Sukarno. It’s real. We feel it as we come under the control of agencies owned by our former colonial masters).

            Ketika bangsa Indonesia yang berasal dari Dunia Ketiga sudah melupakan ajaran dari bapak Proklamator Indonesia, Bung Karno, justru pemimpin negara Jiran yakni Malaysiya masih teringat dalam pikirannya. Mungkin bangsa kita secara tidak langsung telah melawan ajaran dari Bung Karno dalam praktik dan kekayaannya. Betapa tidak, bangsa Indonesia selalu bergantung terhadap segala bentuk bantuan asing seperti hutang luar negeri yang ditawarkan oleh IMF, World Bank, dan sebagainya.

            Tidak dipungkiri, lembaga-lembaga asing merupakan salah satu bentuk neokolonialisme saat ini. Padahal mereka semuanya kepanjangan tangan dari Amerika, Israel, dan sekutunya. Bahkan Hugo Chavez, Presiden Venezuela mangatakan World Bank dan IMF adalah alat imperialisme Amerika Serikat, tools of US imperialism.Akibatnya, segala arah kebijakan luar negeri Indonesia yang terkenal dengan politik bebas dan aktif dapat sekonyong-konyong berbalik arah karena Pemerintah Indonesia mendapat tekanan dari Amerika yang notabene negara yang menghegemoni IMF, World Bank, dan lain-lain.

            Sejak kemerdekannya pada tahun 1945, Amerika Serikat mengincar Indonesia agar masuk ke dalam lingkar kekuasaanya. Negara Adikuasa ini berusaha mengintervensi Indonesia dengan berbagai cara. Cara yang paling umum adalah dengan memberikan bantuan ekonomi. Sebenarnya dampak efek negatif bantuan ekonomi seperti pemberian hutang adalah membuat Indonesia akan mengalami ketergantungan ekonomi. Bila sudah mengalami ketergantungan ekonomi maka dengan mudahnya Indonesia akan dikendalikan oleh negara-negara yang memberikan peminjaman hutang. Mereka secara tidak langsung melakukan imperialisme atau penjajahan.

 

Teori Ketergantungan (Dependency) dan Keterbelakangan (Underdevelopment)

Andre Gunder Franks mengatakan bahwa, masyarakat di dunia pada awalnya terdiri dari masyarakat yang maju (developed) yang ditandai dengan kemampuan tekonologi yang canggih dan peradaban yang tinggi dan kompleks. Kelompok kedua adalah masyarakat yang belum maju (underdeveloped). Keadaan “undeveloped” baru menjadi “underdeveloped” ketika masyarakat itu kontak dengan negara maju (developed) dan terjadi penjajahan dan ketergantungan. Dalam kondisi “undeveloped” suatu masyarakat masih memiliki kemandirian dan kebebasan untuk berkreasi.

            Untuk mengetahui pokok-pokok pikiran teori ini, kiranya penting dikemukakan pandangan Frank yang secara tegas mengatakan sebagai berikut:

            Pertama, negara yang secara ekonomi maju tidak pernah underdeveloped meskipun mungkin pernah mengalami underveloped . Bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi kapitalis, negara industri maju menyandarkan diri pada kekayaan sumber daya alam negara Dunia Ketiga.

            Kedua, menumpuknya modal merupakan kekuatan pendorong (driving force) di balik proses ini. Sebagai dampaknya adalah pedagang, produsen dan banker mencari keuntungan di Dunia Ketiga.

            Ketiga, pedagang, produsen, dan banker bertujuan mengakumulasikan modalnya di Dunia Ketiga untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini menghasilkan surplus yang banyak dinikmati oleh negara maju kapitalis (the core). Pemindahan surplus ke negara-negara maju dimaksudkan untuk mempertahankan supaya sistem ekonomi Dunia Ketiga (periphery) tetap berorientasi ke luar melalui ekspor komoditinya dan impor barang siap pakai. Maka industrialisasi Dunia Ketiga akan tetap tergantung pada kekuatan luar (external forces) berupa ketergantungan bidang teknologi.

            Keempat, dinamika internal sistem ekonmi juga dikembangkan di antara Dunia Ketiga, yaitu dengan memperkuat sistem ketergantungan. Upah diupayakan serendah mungkin. Pasar domestic (internal market) dibatasi melalui cara pembelanjaan income di negara maju oleh kalangan elite kaya di Dunia Ketiga. Polarisasi kekayaan yang dimiliki negara maju tidak dapat dihindarkan sehingga elite domestk (domestic elites) hanya berperan sebagai junior partners. Pasar di negara Dunia Ketiga tidak lebih dari perwujudan tuntutan elite setempat.

            Kelima, kelompok kapitalis Dunia Ketiga yang mempunyai priviliged justru mengadakan hubungan dengan kaum borjuasi di negara maju, sehingga dimungkinkan berkembangnya negara-negara dengan sistem kolonial, neo-kolonial dan semi kolonial, sebagai perwujudan bentuk kerja sama tersebut

            Keenam, sistem kapitalis dunia merupakan hasil dari suatu sistem yang ingin mempertahankan dominasinya atas Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, otonomi penuh bagi Dunia Ketiga tidak akan terwujud.

            Ketujuh, Dunia Ketiga akan mengalami pembangunan ekonomi yang pesat, apabila hubunagnnya dengan industri kapitalis mulai berkurang.

 

Indonesia dan Ketergantungan Hutang Luar Negeri

Mahbub UI Haq menggambarkan pola pembangunan seperti dengan melakukan hutang luar negeri merupakan model pembangunan palsu (the catching up fallacy). Bagaimana mungkin negara-negara berkembang dengan mengandalkan hutang akan bisa mensejajarkan diri negara-negara kaya.. Haq mengilustrasikan dengan angka pertumbuhan yang palsu. Negara kaya tumbuh dengan 5% tidak akan bisa dikejar dengan negara penghutang yang tumbuh kurang dari 5%. Negara penghutang tersebut akan terus ketinggalan terhadap Negara pemberi kredit. Pendapat seperti ini sesungguhnya sudah cukup membuktikan bahwa negara-negara penghutang akan terus tergantung kepada negara-negara pemberi hutang. Akan tetapi agar jelas dan kwantitatif akan dijabarkan dalam bentuk angka-angka sebagaimana ditulis Siswono Yudohusodo.

Siswono Yudohusodo menyatakan bahwa hutang luar negeri RI di akhir pemerintahan Soekarno berjumlah US $. 2.5 milyar di akhir pemerintahan Soeharto US$. 54 milyar di akhir pemerintahan Habbibie US $. 74 milyar dan menjadi US $. 76 milyar di akhir pemerintahan Megawati. Hutang ini belum terhitung hutang swasta yang juga menjadi tanggungan pemerintah. Pada akhir tahun 2004 hutang luar negeri Indonesia keseluruhan adalah US $. 136 milyar. Hutang swasta berarti 136-74 = US $.62 Milyar.                                                                                                                                          Hutang luar negeri Indonesia semkin menggunung. Sampai akhir tahun 1998 hutang luar negeri (pemerintah dan swasta) bernilai sebesar US$ 130 milyar yang merupakan 162,7% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Pada pertengahan tahun 1999, nilai hutang luar negeri ini bertambah menjadi US$ 146 milyar sedangkan Produk Domestik Bruto Indonesia menurun. Ini artinya dalam presentase dan Produk Domestik Bruto, hutang luar negeri bertambah. Artinya adalah pendapatan per kapita rakyat Indonesia (tidak termasuk para “penyamun” ekonomi) sebagai penanggung beban hutang ini sudah berada di bawah nilai hutang mi.                                

  Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dijelaskan. Adanya pinjaman luar negeri justru meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dari “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.                                                                                                                                   Selama periode 1980-1993, sektor Pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan hutang luar negeri sebesar US$ 41.4 milyar. Sementara itu, selama periode yang sama, sektor Pemerintah telah menambah hutang luar negerinya sebesar US$ 69.4 milyar (laporan Bank Dunia tahun 1994). Dilaporkan bahwa sampai April 1999, hutang luar negeri sektor Pemerintah telah meningkat menjadi US$ 77.7 milyar. Ini secara implisit mengandung pengertian yang disebutkan di atas yaitu makin banyak cicilan hutang luar negeri makin besar nilai hutang luar negeri yang menumpuk. Nilai net transfer ke luar negeri yang dilakukan sektor Pemerintah selama periode 1985-1993 misalnya adalah sebesar US$ 7.8 milyar dan selama periode 1994-1998 diperkirakan sebesar US$ 19 milyar (World Bank, 1994 dan World Bank, 1997).

Idealnya, hutang yang sehat adalah hutang yang semakin lama semakin kecil. Tetapi apabila kita menengok kasus Indonesia adalah hutang negara kita justru semakin membesar. Bila dikaji kembali, hal ini bisa terjadi karena pola pembangunan yang tidak sesuai. Selain itu adalah juga terdapa berbagi faktor. Misalnya faktor  korupsi, kesalahan dalam mengelola, Capital flight, Bunga yang terlalu tinggi, dan maksud terselubung dari kekuatan adidaya.

Pinjaman hutang dari negara-negara besar adalah hanya keinginan negara-negara besar untuk membangkrutkan dan mengintervensi Indonesia. Seorang eks agen CIA yang sudah pensiun menulis buku yang isinya bagaimana penguasa Amerika Serikat memang sejak dulu sudah melakukan rencana jahat untuk membangkrutkan Indonesia. (Peter Rosler Garcia, Kompas 6 April 2005).

Walhasil, negara Indonesia tidak bisa lagi berbuat apa-apa, selain hanya membayar cicilan dan bunga hutang dari hari ke hari bulan ke bulan dan tahun ke tahun sampai waktu yang tidak dapat diprediksi. Yang mempunyai implikasi-implikasi sebagaimana dituturkan oleh Stritua Arif di bawah ini :

Dalam situasi sekarang, kita harus terus meminjam dari luar negeri untuk membiayai pembayaran kepada pihak luar negeri. Kita terus membayar cicilan hutang luar negeri, bunga hutang luar negeri dan keuntungan investasi asing yang ditransfer ke luar negeri. Dalam situasi seperti ini, kita sebetulnya berada dalam suatu ekonomi tutup lubang gali lubang. Sementara itu kalau kita lihat kemana penerimaan bersih devisa yang kita terima (setelah memperhitungkan import barang dan penerimaan jasa-jasa). Maka kita lihat bahwa secara pukul rata hamper seluruhnya telah digunakan untuk pembayaran kepada pihak-pihak asing. Dalam situasi seperti ini, kita sebetulnya sadar atau tidak sadar bekerja untuk pihak asing. Penerimaan ekonomi luar negeri Indonesia dapat dikatakan adalah dari asing untuk asing dan kita adalah kuli pihak asing. Ini sungguh merupakan sesuatu yang menyedihkan sebagai bangsa yang berdaulat dan politis merdeka. (Arief S, 1987 :47)

            Hutang luar negeri bukanlah solusi untuk menyelematkan Indonesia dari carut marutnya perekonomian. Hutang luar negeri justru membawa Indonesia semakin terpuruk dan malah menguntungkan bagi negara yang memberikan pinjaman. Negara-negara kaya, kuat dan besar berkeinginan sekali untuk mempengaruhi negara – negara kecil, lemah dan miskin. Hal tersebut sudah berlangsung sejak lama. Pasca Revolusi Industri di Inggris tahun 1800-an telah menunjukkan fakta betapa negara-negara yang mempunayi kelebihan produksi melakukan politik perdagangan agar produk-produk industrinya tersebut dapat dipasarkan ke negara-negara lain terutama pada negara-negara berkembang. Dalam perjalanan sejarahnya, ternyata politik demikian menghasilkan imperialisme, penjajahan dan kolonialisme.

            Jika kita bercermin pada krisis utang yang dialami oleh Amerika Latin 1980-an dan krisis keuangan sebagai dampak dari Krisis Asia beberapa tahun seakan membenarkan kembali sinyalemen teori dependensi. Maksudnya bahwa integrasi negara-negara pinggiran ke dalam kapitalisme global sangatlah berisiko. Model pembangunan yang selalu bergantung pada modal asing dan hutang luar negeri juga sangat lemah menghadapi tekanan ekonomi global.

            Dari semula, teoritisi dependensi yang memang mendasarkan diri pada tesis kapitalisme Marx dan imperialisme Lenin telah menyatakan bahwa rezim-rezim otoriter yang muncul di tahun 1960-an dan 1970-an hanyalah bertugas untuk mengamankan jalannya kegiatan akumulasi kapital oleh kalangan borjuis transnasional. Guillermo O & Donnel (1973,1979) misalnya menyatakan bahwa negara-negara birokratik otoritarian di negara-negara pinggiran menggunakan instrumen-instrumen otoritarianisme untuk menekan dan menindas popular sektors, yaitu sektor masyarakat buruh, petani dan pueblo (wong cilik) yang mengganggu stabilitas sosial yang diperlukan untuk kepastian keamanan proses akumulasi kapital. Hampir mustahil mengharapkan pemerintah ataupun negara dan kelompok kapitalis lokal untuk keluar dari siklus ketergantungan. Yang di luar ramalan teoritisi dependensi adalah realiti empirik yang kemudian hadir, bahwa setelah runtuhnya rezim-rezim otoriter di banyak negara di Amerika Latin ternyata proses pembangunan yang bersifat dependensi masih terjadi.

 

Bagaimana Seharusnya?

Fenomena seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan. Salah satu tindakan yang perlu dipertimbangkan untuk memerdekakan Indonesia dan kolonialisme utang adalah dengan memperjuangkan penghapusan utang. Tanpa penghapusan utang, Indonesia akan sulit membebaskan diri dari himpitan beban utang, tetapi cenderung akan semakin jauh terperosok ke dalam kolonialisme utang.

Sehubungan dengan itu, konsep hutang najis (odious debt) sebagaimana diperkenalkan Alexander Nahum Sack berikut menarik untuk dikaji. Menurut Sack (sebagaimana dikutip dalam Adams, 1991), “if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious for the population of all the State This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.”

Jika didasarkan konsep hutang najis sebagaimana dikemukakan Sack itu, dapat dilihat bahwa setiap pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memiliki kesempatan untuk memerdekakan Indonesia dari neokolonialisme utang. Artinya, upaya pengurangan beban utang luar negeri Indonesia tidak hanya perlu dilakukan karena jumlahnya yang terlanjur sangat besar, tetapi terutama karena terdapatnya unsur utang najis dalam jumlah keseluruhan utang itu.

Dua alasan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk meminta penghapusan hutang dengan menggunakan konsep hutang najis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pada era Soeharto, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan hutang luar negeri sangat buruk. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintahan Soeharto adalah sebuah pemerintahan korup. Kecenderungan untuk berlaku korup itu bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Dalam perkiraan Bank Dunia, volume korupsi proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 30 persen (World Bank, 1997).

 Kedua, para kreditor diwajibkan bertanggungjawab atas kelalaian mereka dalam memberikan hutang. Hal ini terutama karena cukup kuatnya dugaan keterlibatan para kreditor pada berbagai skandal korupsi proyek-proyek utang itu. Sebagaimana diketahui, sekitar 80 persen hutang luar negeri Indonesia diterima dalam bentuk fasilitas berbelanja secara kredit. Untuk menyukseskan proyek-proyek tersebut, para pengusaha negara-negara kreditor tidak segan-segan menyuap para pejabat Indonesia. Selanjutnya, tanpa mempertimbangkan manfaat sebuah proyek bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, para kreditor begitu saja menyetujui pembiayaan proyek-proyek tersebut dengan mengucurkan utang luar negeri.

Beberapa negara yang telah melakukan penghapusan hutang adalah Brazil, Mexico, Argentina, Pakistan, dan Nigeria. Tetapi kata kuncinya terletak pada adanya kemauan politik masing-masing pemerintah untuk tidak menggeser beban hutang kepada rakyatnya masing-masing. Menggeser beban hutang kepada rakyat banyak tidak hanya dapat dimaknai sebagai proses sistematis untuk menggeser dampak korupsi, tetapi dapat pula dimaknai sebagai proses sistematis untuk menyerahkan tenggorokkan rakyat kepada para penguasa dan pengusaha mancanegara.

 Bila kita melihat dari sudut Indonesia, kendala utama yang dihadapi negeri ini dalam menuntut penghapusan hutang terletak pada sangat dominannya pengaruh para ekonom neoliberal dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Bagi para pengikut IMF tersebut, penderitaan rakyat di bawah tekanan beban hutang cenderung tidak memiliki makna apa-apa. Sebab itu, alih-alih memperjuangkan penghapusan hutang, mereka lebih suka menambah beban hutang dengan membuat hutang baru. Anehnya, setiap rezim yang berkuasa di Indonesia, tampak seperti tidak memiliki pilihan lain selain bekerjasama dengan kaki tangan para kreditor tersebut. Sepertinya ini adalah bentuk kolonialisme baru di Indonesia. Negara Indonesia semakin ketergantungan dengan negara-negara dan lembaga-lembaga asing yang memberikan hutang luar negeri.

Oleh: Zahidiyah Ela Tursina,lulusan jurusan ilmu Hubungan Internasional
         Universitas Jember


Leave a comment