Home » Articles posted by zahidiyahela

Author Archives: zahidiyahela

“Kenapa dalam m…

“Kenapa dalam meraih mimpi selalu ada kendala? Jika pengharapan anda tinggi, tingkat masalah yang anda temui juga tinggi. Ketika masalah yang kita temui kecil, mungkin karena pengharapan kita rendah, bisa jadi karena memang tidak ada impian yang berani kita tentukan.

Jangan bekerja untuk meraih mimpi namun bekerjalah untuk melampui mimpi.”

(Anies Baswedan)

Negara Menginginkan Hukum Internasional?

Hukum internasional merupakan perturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang memuat hak-hak tertentu dan kewajiban-kewajiban tertentu yang dibebankan kepada negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarkat internasional.

Tidak semua negara mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap hukum internasional. Misalnya negara–negara Asia dan Afrika.. Sebelumnya negara-negara terebut bersifat kritis terhadap hukum internasional. Hal ini disebabkan mereka mempunyai pengalaman pahit sewaktu zaman kolonial yang dimana hukum internasional hanya dibuat kepentingan kaum penjajah, ketidaksesuaian antara nilai-nilai kebudayaan dan kepentingan mereka dengan hukum internasional serta banyaknya negara Barat menyalahgunakan hukum internasional untuk memelihara status quo dan mempertahankan kolonialisme. Selain itu di antara negara-negara Asia dan Afrika ada yang menggunakan sistem ekonomi sosialis yang bertentangan dengan hukum internasional klasik. Ditambah lagi jumlah wakil negara Asia dan Afrika sangat sedikit di berbagai badan hukum PBB sehingga suara mereka tidak terwakili secara memadai.

 Walaupun negara Asia dan Afrika sangat kritis terhadap hukum internasional namun sebenarnya mereka mendukung adanya hukum internasional mengingat telah memberikan banyak manfaat. Dalam hal-hal tertentu hukum internasional telah banyak membantu perjuangan mereka.. Negara Asia dan Afrika telah menggunakan hukum internasional untuk melindungi diri dari intervensi asing, melawan kolonialisme dan imperialisme serta menjadikan sarana untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Tanpa hukum internasional, mereka akan sulit untuk melawan segala bentuk intervensi asing, kolonialisme dan imperialisme serta memperjuangakan kepentingan mereka.

Sebagai contoh, pemanfaatan hukum internasioanal oleh Indonesia untuk menyelesaikan sengketa wilayah dengan Malaysiya atas pulau Sipadan dan Ligitan. Masalah persengketaan wilayah ini bila tidak bisa diselesaikan maka biasanya berakhir pada peperangan. Dengan menyelesaikan sengketa ini melalui hukum internasional yakni ke Mahkamah Internasional, Indonesia akhirnya bisa menghindari peperangan. Walaupun gagal dalam merebut kedua pulau itu namun paling tidak Indonesia dapat menghindari peperangan. Selain itu, Indonesia juga menjadikan hukum internasional sebagai instrumen untuk menekan negara lain. Ini bisa dilihat ketika pemerintah Indonesia menekan pemerintah Swedia untuk melakukan tindakan pada tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah diketahui berkewarganegaraan Swedia.

Sebenarnya masih banyak kasus dan sengketa di dunia internasional seperti batas wilayah, terorisme, HAM, dan lain-lain yang telah menjadikan hukum internasional semakin penting. Sebagai contoh, kasus terorisme yang telah menimbulkan banyak korban.di masyarakat internasional. Atas dasar tersebut, maka dibuat beberapa konvensi dan protokol yang tentunya masih ada dalam pengawasan PBB. Konvens-konvensi tersebut telah diratifikasi oleh banyak negara sehingga mempunyai kekuatan hukum internasional. Adanya ratifikasi ini menunjukkan bahwa banyak negara yang menginginkan tegaknya hukum internasional tersebut. Misalnya, konvensi Tokyo tahun 1963, Resolusi Dewan Keamanan PBB tahun 1997 (International Convention for The Suppression of Terroris Bombing), dan lain-lain. Tujuan utamanya tidak lain untuk menghambat tumbuhnya terorisme serta menyeret teroris ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya negara-negara menginginkan hukum internasional. Hukum internasional dapat juga dimanfaatkan untuk mewujudkan suatu dunia yang bebas dari peperangan, ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Sudah banyak negara yang merasakan manfaat darinya sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnnya hukum internasional benar-benar diinginkan oleh masyarakat internasional.

Oleh: Zahidiyah Ela Tursina,lulusan jurusan ilmu Hubungan Internasional
         Universitas Jember

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Strategi Pemerintah Thailand Dalam Mengatasi Krisis Thailand Tahun 1997

 Pada buan Juli 1997, krisis moneter pertama-tama meletus di Thailand, kemudian menjalar dengan cepat mempengaruhi sejumlah besar negara dan daerah di Asia. Krisis ini adalah krisis ekonomi yang melanda di kawasan Asia untuk pertama kalinya. Krisis ini disulut oleh keputusan pemerintahan PM Chavalith Yongchaiyud untuk mengambangkan nilai tukar bath Thailand terhadap mata uang dollar AS pada tanggal 2 Juli 1997. Kebijakan ini adalah refleksi dari ketidakmampuan pemerintahan PM Chavalith dalam mencegah dan mengatasi krisis ekonomi secara ekonomis dan politis.

Terjadinya krisis ekonomi Thailand telah menggambarkan bahwa terjadinya krisis ekonomi diawali oleh pembentukan Bangkok International Banking Facillities (BIBIF) pada tahun 1993. Krisis itu juga diawali oleh sikap pengabaian terhadap berbagai gejala krisis ekonomi yang telah terjadi sejak awal 1997. Berbagai kelemahan kebijakan ekonomi memicu timbulnya banyak masalah seperti semakin berkurangnya pemasukan dari sektor ekspor, booming sektor property, semakin tingginya hutang luar negeri dari pihak swasta domestik. Tidak hanya itu saja. Timbul juga masalah semakin naiknya nilai riil mata uang bath terhadap dollar AS, masalah defisit neraca perdagangan serta banyaknya non performing loans (NPLs) di sektor perbankan.

Adanya krisis ekonomi dan politik menyebabkan perubahan mendasar. Berbagai indikator makro ekonomi menunjukkan angka negatif setelah menikmati pertumbuhan pesat dalam hampir satu dekade. Secara ekonomi, pemerintahan yang sedang berkuasa menjadi tidak lagi legitimate. Sementara itu legitimasi politik pemerintah harus didasarkan pada sistem politik demokratis. Banyaknya praktek demokrasi yang masih belum dewasa dapat memperburuk krisis ekonomi. Akibatnya, pemerintahan semi demokratis PM Chavalit tidak mampu mengambil kebijakan ekonomi efektif dan tegas dalam rangka memperbaiki kepercayaan investor yang sudah terlanjur telah menarik keluar investasi asing mereka. Ketidakmampuan pemerintah yang sedang berkuasa untuk mengambil berbagai langkah mengatasi krisis ekonomi semakin meningkatkan tuntutan berbagai lapisan masyarakat agar pemerintahan koalisi PM Chavalith mengundurkan diri.

Pihak yang memiliki pengaruh dan peran dalam menyebabkan krisis ekonomi 1997 secara politik adalah teknokrat atau birokrasi. Para teknokrat bertanggung jawab terhadap kebijakan-kebijakan makroekonomi di Thailand. Sebagai aparatur penting dalam pemerintahan, teknokrat dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dan dipersalahkan atas terjadinya krisis ekonomi, khususnya mereka yang berada di Bank Sentral Thailand (BoT). Krisis ekonomi 1997 menunjukkan lemahnya kemampuan Bank Sentral Thailand (BoT) mengantisipasi apresiasi nilai tukar riil mata uang bath terhadap dollar AS.

Untuk mengatasi krisis ekonomi di Thailand, pemerintah Thailand mengeluarkan berbagai kebijakan. Pertama, berusaha mengembalikan kepercayaan para investor asing. Diharapkan para investor asing bersedia membawa modalnya masuk kembali ke Thailand. Dengan memperbaiki kepercayaan investor asing terutama maka masalah krisis likiuditas dalam cadangan devisa Thailand dapat semakin teratasi. Pemerintah PM Chuan tetap mempertahankan kerja sama dengan IMF. Pemerintah PM Chuan mendapatkan kesempatan besar untuk memperbaiki keadaan ekonomi domestik Thailand dari IMF yakni melalui bantuan bersifat finansial dan teknis. PM Thailand,Chuan, berusaha mendesak AS supaya bisa memberi bantuan finansial secara terpisah dari bantuan multilateral IMF.

Sikap yang mendukung dari Presiden AS, Bill Clinton, digunakan sebagai jaminan atas keseriusan Thailand dalam melakasanakan program reformasi ekonomi dari lembaga keuangan internasional, IMF. Akhirnya, dukungan tersebut akan memperbaiki dan meningkatkan kepercayaan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara lain terhadap Thailand. Namun sikap PM Chuan yang begitu patuh terhadap program perbaikan ekonomi IMF melahirkan opini bahwa PM Chuan adalah a good student of the IMF[1]. Opini tersebut mempunyai arti positif bagi pemerintahan PM Chuan. Karena melakukan pinjaman dari IMF maka PM Chuan harus menanggung konsekuensi yakni tidak bisa bersikap lain di luar program ekonomi IMF. Pendirian ini melahirkan reaksi positif yakni meningkatnya kepercayaan rakyat Thailand terhadap perkembangan ekonomi domestik negara Thailand.

Kedua, mengadakan reformasi finansial atau keuangan. Reformasi finansial dilakukan oleh pemerintahan PM Chuan. Di antara reformasi keuangan tersebut adalah penyelesaian semua aset milik ke-56 perusahaan-perusahaan keuangan yang ditutup itu hingga 31 Desember 1998 melalui the Financial Restructuating Agency (FRA) dan the Asset Management Corporation (AMC), perusahaan-perusahaan keuangan akan direkapitalisasi pada 1998 seiring dengan peraturan yang ketat, memperbaiki undang-undang kepailitan (bankruptcy law), dan pemerintah menjamin tidak akan melakukan penutupan terhadap perusahaan-perusahaan keuangan lain[2].

Ketiga, pemerintahan Thailand, PM Chuan memberlakukan pengontrolan lalu lintas dan perdagangan bath melalui mekanisme two-tier system. Kebijakan ini diharapkan mampu  menjaga terjadinya stabilitas nilai tukar pada level yang lebih rendah. Hal tesebut dapat menyebabkan  industri dapat kembali beroperasi secara normal dan baik. Misalnya, ekspor produk agroindustri lebih mampu bersaing serta bahan baku industri dapat diimpor dengan harga lebih murah. Selain itu, diharapkan adanya kebijakan ini mampu mempertahankan cadangan devisa negara.

Keempat, pemerintah Thailand membuat kebijakan untuk mendorong biaya produksi dan ekspor. Pelaksanaan kebijakan ini dilaksanakan dalam rangka untuk mengembangkan proyek-proyek investasi padat karya yang didanai dari pinjaman Bank Dunia dan Miyazawa Iniatiative, Jepang. Dari kebijakan ini maka diharapkan adanya peningkatan daya beli rakyat dan merangsang kegiatan produksi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (Paket 30 Maret 1999) itu berisi program pembiayaan sebesar 53 milyar bath, pengurangan pajak sebesar 54,7 milyar bath per tahun, serta pengurangan harga energi sebesar 23,8 milyar bath per tahun.

Kelima, dalam sektor-sektor industri yang selama ini sangat terbatas bagi penanaman modal asing akhirnya disetujui oleh Parlemen Thailand di akhir 1998. Contohnya, produsen mobil asal Jepang mulai memiliki 100% industri mobil. Tetapi sektor-sektor industri tersebut tidak termasuk bagian sektor ekspor dan jasa turisme.Thailand tidak hanya mengandalkan sektor industri namun juga sektor pertanian khususnya teknologi pertanian. Sektor teknologi pertanian ini sudah lama ditinggalkan oleh sebagian besar rakyat Thailand sewaktu perekonomian sedang mengalami peningkatan yang besar.

Akhirnya, perekonomian Thailand berangsur-angsur pulih. Hal ini bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi pada pertengahan 1999. Misalanya, mata uang Bath mulai terlihat stabil, nilai indeks harga saham SET hampir meningkat dua kali lipat, cadangan devisa mengalami kenaikan pesat, hutang luar negeri turun, dan angka inflasi mengalami penurunan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.  Buku

Madu, Ludiro. 2003. Keajaiban Thailand : Analisis Deskriptif Asal Usul dan Pemilihan Ekonomi

         Surabaya: JP-Press 

Nugroho, Verry. 2005. Reformasi Konstitusi Thailand Tahun 1997 (Demokratisasi Thailand Di

          Tengah Krisis Ekonomi). Universitas Jember Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

 

B. Harian/Mingguan

Asia Week, 17 Juli 1998

 

C. Internet

Thailand Bahas Krisis Moneter 1997 , http://id1.chinabroadcast.cn/1/2007/07/20/1@68126.htm, diakses

        pada tanggal 1 Juni 2009


[1] Asia Week, “The New Reality”, 17 Juli 1998, hal 48

[2] Ludiro Madu, Keajaiban Thailand : Analisis Deskriptif Tentang Asal Usul dan Pemulihan Krisis Ekonomi. Surabaya : JP-Press, 2003. Hal 131

Oleh: Zahidiyah Ela Tursina,lulusan jurusan ilmu Hubungan Internasional
         Universitas Jember

Ketergantungan Indonesia Terhadap Hutang Luar Negeri

Dr. Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysiya, dalam pidatonya di depan the Asia HRD Congress di Jakarta, 3 Mei 2006, Mengatakan: “Neokolonialisme bukanlah istilah khayalan yang diciptakan oleh Presiden Soekarno. Ia (neokolonialisme) itu nyata. Kita merasakanya tatkala kita hidup berada di bawah control agen-agen yang dikenadlaikan oleh mantan penjajah kita.” (Neo-colonialisme is not a fancy term carried by President Sukarno. It’s real. We feel it as we come under the control of agencies owned by our former colonial masters).

            Ketika bangsa Indonesia yang berasal dari Dunia Ketiga sudah melupakan ajaran dari bapak Proklamator Indonesia, Bung Karno, justru pemimpin negara Jiran yakni Malaysiya masih teringat dalam pikirannya. Mungkin bangsa kita secara tidak langsung telah melawan ajaran dari Bung Karno dalam praktik dan kekayaannya. Betapa tidak, bangsa Indonesia selalu bergantung terhadap segala bentuk bantuan asing seperti hutang luar negeri yang ditawarkan oleh IMF, World Bank, dan sebagainya.

            Tidak dipungkiri, lembaga-lembaga asing merupakan salah satu bentuk neokolonialisme saat ini. Padahal mereka semuanya kepanjangan tangan dari Amerika, Israel, dan sekutunya. Bahkan Hugo Chavez, Presiden Venezuela mangatakan World Bank dan IMF adalah alat imperialisme Amerika Serikat, tools of US imperialism.Akibatnya, segala arah kebijakan luar negeri Indonesia yang terkenal dengan politik bebas dan aktif dapat sekonyong-konyong berbalik arah karena Pemerintah Indonesia mendapat tekanan dari Amerika yang notabene negara yang menghegemoni IMF, World Bank, dan lain-lain.

            Sejak kemerdekannya pada tahun 1945, Amerika Serikat mengincar Indonesia agar masuk ke dalam lingkar kekuasaanya. Negara Adikuasa ini berusaha mengintervensi Indonesia dengan berbagai cara. Cara yang paling umum adalah dengan memberikan bantuan ekonomi. Sebenarnya dampak efek negatif bantuan ekonomi seperti pemberian hutang adalah membuat Indonesia akan mengalami ketergantungan ekonomi. Bila sudah mengalami ketergantungan ekonomi maka dengan mudahnya Indonesia akan dikendalikan oleh negara-negara yang memberikan peminjaman hutang. Mereka secara tidak langsung melakukan imperialisme atau penjajahan.

 

Teori Ketergantungan (Dependency) dan Keterbelakangan (Underdevelopment)

Andre Gunder Franks mengatakan bahwa, masyarakat di dunia pada awalnya terdiri dari masyarakat yang maju (developed) yang ditandai dengan kemampuan tekonologi yang canggih dan peradaban yang tinggi dan kompleks. Kelompok kedua adalah masyarakat yang belum maju (underdeveloped). Keadaan “undeveloped” baru menjadi “underdeveloped” ketika masyarakat itu kontak dengan negara maju (developed) dan terjadi penjajahan dan ketergantungan. Dalam kondisi “undeveloped” suatu masyarakat masih memiliki kemandirian dan kebebasan untuk berkreasi.

            Untuk mengetahui pokok-pokok pikiran teori ini, kiranya penting dikemukakan pandangan Frank yang secara tegas mengatakan sebagai berikut:

            Pertama, negara yang secara ekonomi maju tidak pernah underdeveloped meskipun mungkin pernah mengalami underveloped . Bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi kapitalis, negara industri maju menyandarkan diri pada kekayaan sumber daya alam negara Dunia Ketiga.

            Kedua, menumpuknya modal merupakan kekuatan pendorong (driving force) di balik proses ini. Sebagai dampaknya adalah pedagang, produsen dan banker mencari keuntungan di Dunia Ketiga.

            Ketiga, pedagang, produsen, dan banker bertujuan mengakumulasikan modalnya di Dunia Ketiga untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini menghasilkan surplus yang banyak dinikmati oleh negara maju kapitalis (the core). Pemindahan surplus ke negara-negara maju dimaksudkan untuk mempertahankan supaya sistem ekonomi Dunia Ketiga (periphery) tetap berorientasi ke luar melalui ekspor komoditinya dan impor barang siap pakai. Maka industrialisasi Dunia Ketiga akan tetap tergantung pada kekuatan luar (external forces) berupa ketergantungan bidang teknologi.

            Keempat, dinamika internal sistem ekonmi juga dikembangkan di antara Dunia Ketiga, yaitu dengan memperkuat sistem ketergantungan. Upah diupayakan serendah mungkin. Pasar domestic (internal market) dibatasi melalui cara pembelanjaan income di negara maju oleh kalangan elite kaya di Dunia Ketiga. Polarisasi kekayaan yang dimiliki negara maju tidak dapat dihindarkan sehingga elite domestk (domestic elites) hanya berperan sebagai junior partners. Pasar di negara Dunia Ketiga tidak lebih dari perwujudan tuntutan elite setempat.

            Kelima, kelompok kapitalis Dunia Ketiga yang mempunyai priviliged justru mengadakan hubungan dengan kaum borjuasi di negara maju, sehingga dimungkinkan berkembangnya negara-negara dengan sistem kolonial, neo-kolonial dan semi kolonial, sebagai perwujudan bentuk kerja sama tersebut

            Keenam, sistem kapitalis dunia merupakan hasil dari suatu sistem yang ingin mempertahankan dominasinya atas Dunia Ketiga. Oleh sebab itu, otonomi penuh bagi Dunia Ketiga tidak akan terwujud.

            Ketujuh, Dunia Ketiga akan mengalami pembangunan ekonomi yang pesat, apabila hubunagnnya dengan industri kapitalis mulai berkurang.

 

Indonesia dan Ketergantungan Hutang Luar Negeri

Mahbub UI Haq menggambarkan pola pembangunan seperti dengan melakukan hutang luar negeri merupakan model pembangunan palsu (the catching up fallacy). Bagaimana mungkin negara-negara berkembang dengan mengandalkan hutang akan bisa mensejajarkan diri negara-negara kaya.. Haq mengilustrasikan dengan angka pertumbuhan yang palsu. Negara kaya tumbuh dengan 5% tidak akan bisa dikejar dengan negara penghutang yang tumbuh kurang dari 5%. Negara penghutang tersebut akan terus ketinggalan terhadap Negara pemberi kredit. Pendapat seperti ini sesungguhnya sudah cukup membuktikan bahwa negara-negara penghutang akan terus tergantung kepada negara-negara pemberi hutang. Akan tetapi agar jelas dan kwantitatif akan dijabarkan dalam bentuk angka-angka sebagaimana ditulis Siswono Yudohusodo.

Siswono Yudohusodo menyatakan bahwa hutang luar negeri RI di akhir pemerintahan Soekarno berjumlah US $. 2.5 milyar di akhir pemerintahan Soeharto US$. 54 milyar di akhir pemerintahan Habbibie US $. 74 milyar dan menjadi US $. 76 milyar di akhir pemerintahan Megawati. Hutang ini belum terhitung hutang swasta yang juga menjadi tanggungan pemerintah. Pada akhir tahun 2004 hutang luar negeri Indonesia keseluruhan adalah US $. 136 milyar. Hutang swasta berarti 136-74 = US $.62 Milyar.                                                                                                                                          Hutang luar negeri Indonesia semkin menggunung. Sampai akhir tahun 1998 hutang luar negeri (pemerintah dan swasta) bernilai sebesar US$ 130 milyar yang merupakan 162,7% dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Pada pertengahan tahun 1999, nilai hutang luar negeri ini bertambah menjadi US$ 146 milyar sedangkan Produk Domestik Bruto Indonesia menurun. Ini artinya dalam presentase dan Produk Domestik Bruto, hutang luar negeri bertambah. Artinya adalah pendapatan per kapita rakyat Indonesia (tidak termasuk para “penyamun” ekonomi) sebagai penanggung beban hutang ini sudah berada di bawah nilai hutang mi.                                

  Perlunya kewaspadaan terhadap hutang luar negeri telah banyak dijelaskan. Adanya pinjaman luar negeri justru meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan. Pinjaman luar negeri tidak terlepas dari “skenario Barat” untuk mempertahankan negara negara terbelakang tetap dalam posisi “status-quo in dependency”.                                                                                                                                   Selama periode 1980-1993, sektor Pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan hutang luar negeri sebesar US$ 41.4 milyar. Sementara itu, selama periode yang sama, sektor Pemerintah telah menambah hutang luar negerinya sebesar US$ 69.4 milyar (laporan Bank Dunia tahun 1994). Dilaporkan bahwa sampai April 1999, hutang luar negeri sektor Pemerintah telah meningkat menjadi US$ 77.7 milyar. Ini secara implisit mengandung pengertian yang disebutkan di atas yaitu makin banyak cicilan hutang luar negeri makin besar nilai hutang luar negeri yang menumpuk. Nilai net transfer ke luar negeri yang dilakukan sektor Pemerintah selama periode 1985-1993 misalnya adalah sebesar US$ 7.8 milyar dan selama periode 1994-1998 diperkirakan sebesar US$ 19 milyar (World Bank, 1994 dan World Bank, 1997).

Idealnya, hutang yang sehat adalah hutang yang semakin lama semakin kecil. Tetapi apabila kita menengok kasus Indonesia adalah hutang negara kita justru semakin membesar. Bila dikaji kembali, hal ini bisa terjadi karena pola pembangunan yang tidak sesuai. Selain itu adalah juga terdapa berbagi faktor. Misalnya faktor  korupsi, kesalahan dalam mengelola, Capital flight, Bunga yang terlalu tinggi, dan maksud terselubung dari kekuatan adidaya.

Pinjaman hutang dari negara-negara besar adalah hanya keinginan negara-negara besar untuk membangkrutkan dan mengintervensi Indonesia. Seorang eks agen CIA yang sudah pensiun menulis buku yang isinya bagaimana penguasa Amerika Serikat memang sejak dulu sudah melakukan rencana jahat untuk membangkrutkan Indonesia. (Peter Rosler Garcia, Kompas 6 April 2005).

Walhasil, negara Indonesia tidak bisa lagi berbuat apa-apa, selain hanya membayar cicilan dan bunga hutang dari hari ke hari bulan ke bulan dan tahun ke tahun sampai waktu yang tidak dapat diprediksi. Yang mempunyai implikasi-implikasi sebagaimana dituturkan oleh Stritua Arif di bawah ini :

Dalam situasi sekarang, kita harus terus meminjam dari luar negeri untuk membiayai pembayaran kepada pihak luar negeri. Kita terus membayar cicilan hutang luar negeri, bunga hutang luar negeri dan keuntungan investasi asing yang ditransfer ke luar negeri. Dalam situasi seperti ini, kita sebetulnya berada dalam suatu ekonomi tutup lubang gali lubang. Sementara itu kalau kita lihat kemana penerimaan bersih devisa yang kita terima (setelah memperhitungkan import barang dan penerimaan jasa-jasa). Maka kita lihat bahwa secara pukul rata hamper seluruhnya telah digunakan untuk pembayaran kepada pihak-pihak asing. Dalam situasi seperti ini, kita sebetulnya sadar atau tidak sadar bekerja untuk pihak asing. Penerimaan ekonomi luar negeri Indonesia dapat dikatakan adalah dari asing untuk asing dan kita adalah kuli pihak asing. Ini sungguh merupakan sesuatu yang menyedihkan sebagai bangsa yang berdaulat dan politis merdeka. (Arief S, 1987 :47)

            Hutang luar negeri bukanlah solusi untuk menyelematkan Indonesia dari carut marutnya perekonomian. Hutang luar negeri justru membawa Indonesia semakin terpuruk dan malah menguntungkan bagi negara yang memberikan pinjaman. Negara-negara kaya, kuat dan besar berkeinginan sekali untuk mempengaruhi negara – negara kecil, lemah dan miskin. Hal tersebut sudah berlangsung sejak lama. Pasca Revolusi Industri di Inggris tahun 1800-an telah menunjukkan fakta betapa negara-negara yang mempunayi kelebihan produksi melakukan politik perdagangan agar produk-produk industrinya tersebut dapat dipasarkan ke negara-negara lain terutama pada negara-negara berkembang. Dalam perjalanan sejarahnya, ternyata politik demikian menghasilkan imperialisme, penjajahan dan kolonialisme.

            Jika kita bercermin pada krisis utang yang dialami oleh Amerika Latin 1980-an dan krisis keuangan sebagai dampak dari Krisis Asia beberapa tahun seakan membenarkan kembali sinyalemen teori dependensi. Maksudnya bahwa integrasi negara-negara pinggiran ke dalam kapitalisme global sangatlah berisiko. Model pembangunan yang selalu bergantung pada modal asing dan hutang luar negeri juga sangat lemah menghadapi tekanan ekonomi global.

            Dari semula, teoritisi dependensi yang memang mendasarkan diri pada tesis kapitalisme Marx dan imperialisme Lenin telah menyatakan bahwa rezim-rezim otoriter yang muncul di tahun 1960-an dan 1970-an hanyalah bertugas untuk mengamankan jalannya kegiatan akumulasi kapital oleh kalangan borjuis transnasional. Guillermo O & Donnel (1973,1979) misalnya menyatakan bahwa negara-negara birokratik otoritarian di negara-negara pinggiran menggunakan instrumen-instrumen otoritarianisme untuk menekan dan menindas popular sektors, yaitu sektor masyarakat buruh, petani dan pueblo (wong cilik) yang mengganggu stabilitas sosial yang diperlukan untuk kepastian keamanan proses akumulasi kapital. Hampir mustahil mengharapkan pemerintah ataupun negara dan kelompok kapitalis lokal untuk keluar dari siklus ketergantungan. Yang di luar ramalan teoritisi dependensi adalah realiti empirik yang kemudian hadir, bahwa setelah runtuhnya rezim-rezim otoriter di banyak negara di Amerika Latin ternyata proses pembangunan yang bersifat dependensi masih terjadi.

 

Bagaimana Seharusnya?

Fenomena seperti ini tentu tidak boleh dibiarkan. Salah satu tindakan yang perlu dipertimbangkan untuk memerdekakan Indonesia dan kolonialisme utang adalah dengan memperjuangkan penghapusan utang. Tanpa penghapusan utang, Indonesia akan sulit membebaskan diri dari himpitan beban utang, tetapi cenderung akan semakin jauh terperosok ke dalam kolonialisme utang.

Sehubungan dengan itu, konsep hutang najis (odious debt) sebagaimana diperkenalkan Alexander Nahum Sack berikut menarik untuk dikaji. Menurut Sack (sebagaimana dikutip dalam Adams, 1991), “if a despotic incurs a debt not for the needs or in the interest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious for the population of all the State This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.”

Jika didasarkan konsep hutang najis sebagaimana dikemukakan Sack itu, dapat dilihat bahwa setiap pemerintahan Indonesia pasca Soeharto memiliki kesempatan untuk memerdekakan Indonesia dari neokolonialisme utang. Artinya, upaya pengurangan beban utang luar negeri Indonesia tidak hanya perlu dilakukan karena jumlahnya yang terlanjur sangat besar, tetapi terutama karena terdapatnya unsur utang najis dalam jumlah keseluruhan utang itu.

Dua alasan yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk meminta penghapusan hutang dengan menggunakan konsep hutang najis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pada era Soeharto, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan hutang luar negeri sangat buruk. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintahan Soeharto adalah sebuah pemerintahan korup. Kecenderungan untuk berlaku korup itu bahkan masih berlanjut hingga saat ini. Dalam perkiraan Bank Dunia, volume korupsi proyek-proyek yang dibiayai dengan utang luar negeri di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 30 persen (World Bank, 1997).

 Kedua, para kreditor diwajibkan bertanggungjawab atas kelalaian mereka dalam memberikan hutang. Hal ini terutama karena cukup kuatnya dugaan keterlibatan para kreditor pada berbagai skandal korupsi proyek-proyek utang itu. Sebagaimana diketahui, sekitar 80 persen hutang luar negeri Indonesia diterima dalam bentuk fasilitas berbelanja secara kredit. Untuk menyukseskan proyek-proyek tersebut, para pengusaha negara-negara kreditor tidak segan-segan menyuap para pejabat Indonesia. Selanjutnya, tanpa mempertimbangkan manfaat sebuah proyek bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, para kreditor begitu saja menyetujui pembiayaan proyek-proyek tersebut dengan mengucurkan utang luar negeri.

Beberapa negara yang telah melakukan penghapusan hutang adalah Brazil, Mexico, Argentina, Pakistan, dan Nigeria. Tetapi kata kuncinya terletak pada adanya kemauan politik masing-masing pemerintah untuk tidak menggeser beban hutang kepada rakyatnya masing-masing. Menggeser beban hutang kepada rakyat banyak tidak hanya dapat dimaknai sebagai proses sistematis untuk menggeser dampak korupsi, tetapi dapat pula dimaknai sebagai proses sistematis untuk menyerahkan tenggorokkan rakyat kepada para penguasa dan pengusaha mancanegara.

 Bila kita melihat dari sudut Indonesia, kendala utama yang dihadapi negeri ini dalam menuntut penghapusan hutang terletak pada sangat dominannya pengaruh para ekonom neoliberal dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Bagi para pengikut IMF tersebut, penderitaan rakyat di bawah tekanan beban hutang cenderung tidak memiliki makna apa-apa. Sebab itu, alih-alih memperjuangkan penghapusan hutang, mereka lebih suka menambah beban hutang dengan membuat hutang baru. Anehnya, setiap rezim yang berkuasa di Indonesia, tampak seperti tidak memiliki pilihan lain selain bekerjasama dengan kaki tangan para kreditor tersebut. Sepertinya ini adalah bentuk kolonialisme baru di Indonesia. Negara Indonesia semakin ketergantungan dengan negara-negara dan lembaga-lembaga asing yang memberikan hutang luar negeri.

Oleh: Zahidiyah Ela Tursina,lulusan jurusan ilmu Hubungan Internasional
         Universitas Jember

Fenomena Konflik Antaretnis Di Tengah Kemajemukan Budaya Indonesia

Bangsa Indonesia merupakan bangsa multikultur. Banyak suku bangsa dengan bahasa dan identitas kultural berbeda yang tersebar di tanah air. Diperkirakan Indonesia memilki lebih dari 300 suku bangsa besar maupun kecil. Namun ditengah kemajemukan budaya tidak jarang timbul konflik antaretnis sehingga menimbulkan korban jiwa. Misalnya konflik antaretins yang terjadi di Sampit, Sambas, Ambon, Poso, Aceh, dan Ternate.

Jika dilihat dari realita yang sudah terjadi, konflik antretnis dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Betapa tidak, konflik itu diwarnai aksi kerusuhan massal penjarahan, membakar, merampas hak milik orang lain, menghilangkan dokumen-dokumen penting, hingga pemerkosaan. Lebih ironis lagi, bila konflik mengakibatkan dendam kesumat. Sehingga jika ada kesempatan akan dibalas dengan kekerasan pula. Akhirnya timbullah lingkaran setan kekerasan yang tidak pernah usia. Selain itu, konflik antaretnis dapat memicu chauvanisme antaretnis dari daerah lain bahkan dari luar pulau untuk membela etnis masing-masing. Bila ini terjadi maka permasalahan konflik semakin meluas. Konflik juga bisa menyisakan rasa traumatis mendalam pada masyarakat.  

Mengingat banyaknya kerugian yang ditimbulkan baik materi maupun non materi dari konflik antaretnis membuat harus segera dicari formula penyelesaiannya. Tetapi sebelumnya harus dicari akar penyebab dari konflik itu. Pada umumnya penyebab terjadinya konflik antaretnis tersebut disebabkan distribusi baik ekonomi, sosial, dan politik yang dianggap tidak adil bertepatan dengan perbedaan identitas. Hal ini bisa dilihat dari kasus konflik Sampit dan Sambas. Dalam konfik tersebut, etnis Madura pada taraf tertentu mampu menghegemoni berbagai sumber daya ekonomi. Sementara di sisi lain, sikap mereka cenderung eklusif sehingga apabila terjadi gesekan-gesekan sosial, meskipun kecil, tetapi mampu menyulut terjadinya konflik yang massif dan berkepanjangan. Demikian pula halnya yang terjadi di Ambon, Poso, dan Ternate dengan isu identitas berbeda yakni  isu agama dan pada berbagai kasus di Aceh diwarnai isu etnis seperti Jawa dengan penduduk setempat. Sementara itu di Ambon dibalut isu etnis yaitu Buton, Bugis, Makassar, dengan penduduk asli.

Adapun penyebab konflik antaretnis dapat juga dikarenakan karena kurangnya pemahaman epistemologi suatu permasalahan sehingga masyarakat lebih cenderung mengedepankan emosi. Kondisi mental masyarakat masih labil. Kelabilan emosi masyarakat ini dapat dimanfaatkan pihak ketiga untuk mengadu domba. Walhasil konflik vertikal antar warga negara atau aparat yang berhadapan dengan warga negara, seperti Aceh misalnya dapat terjadi. Kalaupun, kelompok etnis tertentu terlibat dalam konflik itu biasanya disebabkan kelompok tersebut diyakini dekat dengan aparat negara korup, seperti kasus Bengkalis dan Riau. Dari konflik vertikal bisa menjalar konflik horisontal antara kelompok etnis bersaiang seperti dalam kasus Aceh, pendatang Jawa dimusuhi dan diusir oleh penduduk Aceh.

            Konflik yang terjadi di Indonesia merupakan akibat dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga negara Indonesia yang majemuk dalam satuan wilayah kebudayaan dengan konspirasi-konspirasi di negara kesatuan Republik Indonesia serta pihak asing yang turut mengintervensi. Kepentingan itu dilatarbelakangi tujuan ekonomi, politik, dan agama.

            Dalam menangani konflik, Yash Ghai, Profesor Hukum Publik, Hongkong University, menyatakan bahwa ada prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh segenap komponen masyarakat yang bertikai, yaitu kepemimpinan yang berwawasan ke depan dan keinginan kuat segenap komponen masyarakat yang bertikai untuk menyudahi konflik terjadi. Tanpa kerja sama intern masyarakat maka akan sulit terciptanya perdamaian.

Keinginan masyarakat untuk mengakhiri konflik, dapat dilihat dari berbagai indikator atau variabel Social Capital yang meliputi kemauan untuk saling memahami, tolong menolong, menhormati hak orang lainnya, menerima pluralitas serta bersedia untuk melakukan kewajiban-kewajiban sosialnya.

Menggalakkan komunikasi atau dialog antaretnis yang selama ini terhenti dapat dijadikan sebagai salah satu formula penyeleasaian konflik tadi. Komunikasi antaretnis yang memiliki budaya berlainan menjadi semakin penting bila berada di komunitas budaya yang berbeda pula. Dalam komunikasi antarbudaya, pluralitas budaya adalah modal utama lahirnya komunikasi baru. Kebudayaan lokal dapat dijadikan sebagai instrumen penguat eksistensi negara.

Regulasi pemerintah pusat terhadap implementasi penegakkan hukum yang adil dan bijaksana dapat dijadikan salah satu cara penyelesaian konflik. Apabila suatu daerah tidak bisa mengelola otonomi daerah secara baik maka akan berpeluang besar timbul konflik daerah skala besar. Kita bisa berkaca dari konfrensi Malino. Di konferensi itu, pemerintah daerah turut terlibat dalam menangani konflik daerah.  Konferensi Malino itu melukiskan adanya saling memahami antarfaksi yang berarti menunjukkan bahwa mereka masih mencintai persatuan dan kesatuan.

Dari pihak masyarakat sendiri perlu adanya kesadaran untuk  tidak mudah terprovokasi dari pihak ketiga yang mana dapat memparah keadaan. Selain itu, mengikutsertakan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam pembangunan negara menjadi hal yang penting sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial. Sedangkan di wilayah yang damai perlu adanya penguatan rasa persatuan dan kesatuan pada masyarakat di sana dalam membangun tanah air ini.

Oleh: Zahidiyah Ela Tursina,lulusan jurusan ilmu Hubungan Internasional Universitas Jember

 

Palestina dan Sikap Negara-Negara Arab

Entah sudah berapa puluh bahkan ratusan tulisan-tulisan yang memotret masalah Palestina dan Isarel yang telah saya baca. Di media sosial seperti Facebook, saya mengamati banyak sekali teman Facebook saya mengeskpose berita-berita soal serangan Israel ke Gaza, Palestina. Berkali-kali hati saya merasa pedih seperti disayat pedang ketika membaca berita kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina.

 Hati saya pun semakin pedih ketika saya membaca laporan berita  dari irib.ir (19/11/2012) yang menyitir perkataan Najib Abdul Qadir, seorang tokoh revolusioner Yaman, bahwa negara Mesir dan rezim-rezim Arab hanya mengecam serangan Israel ke Gaza dan mereka tidak mengambil tindakan apapun untuk mengakhiri blokade terhadap Jalur Gaza.

Aaaahhh,,,lagu lama. Sikap itu lagi yang mereka lakukan. Entah kapan para pemimpin rezim-rezim Arab bisa menjadi “lelaki sehari” dalam menghadapi kezhaliman Israel terhadap rakyat Palestina. Dan lagi-lagi, hanya Iran yang memainkan peran penting dalam melawan rezim Israel.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa  rezim-rezim Arab (Arab Saudi,Mesir,Suriah,Tunisia,Yordania) bersikap demikian? Mengapa mereka tidak bisa segagah berani seperti Iran dalam melawan rezim Israel yang sudah jelas telah banyak melanggar HAM terhadap rakyat Palestina?

Morgenthau menjelaskan bahwa, “Sasaran politik luar negeri harus dihubungkan dengan kepentingan nasional.” Kepentingan nasional negara-negara Arab yakni terlindunginya stabilitas politik,ekonomi,militer di negara masing-masing. Nah, negara-negara Arab tentu lebih memilih mengedepankan kepentingan nasionalnya daripada harus membela Palestina. Karena itu dalam menghadapi masalah serangan Israel ke Gaza, Palestina, mereka tidak mengambilkan tindakan nyata untuk mengakhiri blokade Gaza.

Sebab, jika mereka bersikap kontra dengan Amerika yang selama ini kebijakannya selalu membela Israel maka Amerika bisa menggunakan ancaman embargo politik,ekonomi,militer seperti yang pernah Amerika lakukan terhadap Iran. Ketergantungan terhadap bidang politik,ekonomi,militer dengan Amerika membuat mereka tidak bisa bersikap berseberangan politik dengan Amerika yang merupakan sekutu setia Israel. Ketergantungan negara-negara Arab terhadap Amerika disebabkan karena mereka tidak mempunyai integrasi yang kuat.

Sudah menjadi rahasia umum, di tingkat regional Timur Tengah, negara-negara Arab melakukan berbagai macam usaha untuk menjadi negara patron(center state)  di kawasan regional. Fenomena ini menyebabkan mereka tidak bisa merapatkan barisan untuk membuat sebuah integrasi politik,ekonomi,militer di wilayah regional mereka. Walhasil, negara-negara Arab secara khusus menjalin integrasi politik,ekonomi,militer dengan Amerika yang merupakan negara terkuat pasca Uni Soviet runtuh.

 Sikap ketergantungan ini membuat negara-negara Arab tidak mempunyai nilai tawar di depan Amerika sehingga strategi diplomasi Amerika yang menggunakan strategi ancaman (detterence) menjadi strategi ampuh. Berbeda lagi denga negara Iran. Iran telah menjadi negara yang terlepas dari ketergantungan politik,ekonomi,militer dari Amerika. Itu lah mengapa Iran berani lantang dalam membela Palestina.

Lantas bagaimana solusinya?

Najib Abdul Qadir mengatakan bahwa, rakyat Arab harus memaksa para penguasa mereka mengambil kebijakan praktis demi bangsa Palestina. Gelombang protes dari rakyat di negara masing-masing bisa dijadikan sarana untuk menekan para elite politik agar mereka berani mengeluarkan kebijakan praksis untuk membela Palestina. Misalnya, kebijakan pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel yang merupakan langkah kongkrit menekan bahkan melawan Israel. Seperti yang dilakukan oleh Iran dan Venezuela.

Ada baiknya seluruh dunia Arab dan dunia Islam belajar dari pengalaman negara seperti Turki, Mesir, Yordania, dll yang telah membuka hubungan ekonomi maupun politik dengan Israel namun justru perekonomian menjadi memburuk. Negara Maroko, Tunisia, Qatar, dan Oman yang telah membuka hubungan bisnis dengan Israel telah sering dibuat kecewa oleh negara Zionis Israel. Bila lobi Yahudi memang dimitoskan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam konstelasi politik internasional, lantas mengapa Turki yang mana telah menjalin kerja sama dengan Israel hingga akhir 2004, masih ditolak sebagai anggota Uni Eropa?

 Oleh: Zahidiyah Ela Tursina,lulusan jurusan ilmu Hubungan Internasional Universitas Jember, penikmat kajian politik Timur Tengah

Hello world!

Welcome to WordPress.com! This is your very first post. Click the Edit link to modify or delete it, or start a new post. If you like, use this post to tell readers why you started this blog and what you plan to do with it.

Happy blogging!